Yamaha Bapak Menembus Batas

POSTINGAN INI DIPUBLIKASIKAN PADA

10/03/13 18.51
West Indonesia Time

Saya akan bercerita mengenai sebuah kisah masa kecil saya dan keluarga saya yang indah ditemani sepeda motor bapak. Kok saya tiak memanggilnya ayah atau papa?  Maklumlah, saya berasal dari Jawa. Saya dengar sekarang ada motor keluaran Yamaha yang baru di Indonesia, namanya Yamaha Xeon RC. Semoga saja motor ini lebih keren, cepat, dan canggih daripada motor ayah saya. 

Oke mulai saja, cerita ini dimulai ketika tahun 2005, dimana ada sebuah kabar mengenai Gunung Merapi yang meletus. Karena penasaran bagaimana bentuknya gunung yang meletus itu, ibuk dan bapak saya mengajak saya untuk melihat bagaimana lava Gunung Merapi itu kalau dilihat dari dekat.

Untuk melihat Gunung Merapi lebih dekat tentu saja menaiki motor bapak pyang tidak lain tidak bukan adalah Yamaha DT-100, jenis trail, sangat cocok dengan kontur lingkungan saya yang pedesaan dan cocok untuk mengangkut hasil bumi. Dan, waktu itu bapak saya masih gendut, ibu saya juga tidak terlalu kurus, dan saya juga mempunyai postur tubuh yang bulat (waktu itu masih SD). Memang kami menyalahi aturan, tapi mana mungkin jika mereka meninggalkan saya sendirian di rumah? Jadi kami bertiga menaiki motor yang notabene hanya untuk satu penumpang saja.

Perlengkapan menggunakan jaket, sepatu, dan penghangat kepala tidak lupa kami kenakan. Bermodal nyali dan doa kami siap membelah jalanan. Tujuan kami bukanlah tempat yang asing di telinga kalian, namanya Keteb yang katanya mempunyai posisi dimana Gunung Merapi bisa terlihat jelas. Untuk menuju ke Keteb sendiri membutuhkan waktu lebih dari satu jam dari rumah saya yang berada di Temanggung daerah utara.

Hari sudah malam, memang kami berangkat dari rumah sekitar pukul tujuh malam supaya ketika sampai tujuan bisa betul-betul gelap dan lava bisa terlihat dengan indah. maka mampirlah kami ke sebuah warung makan pinggir jalan, jenis lamongan dan lesehan. Lapar, lapar, lapar, lapar mendera dan diobati dengan nasi yang mengepul hangat, ayam goreng, dan lalapan segar, seketika hilanglah lapar itu. 

Jalanan menuju Keteb yang lengang, karena malam telah menghiasi kami. Dengan segenap kekuatan dan keyakinan dengan motor Yamaha DT-100 berumur sekitar 22 tahun kami melangkah. Medan pertama tidaklah buruk, kami bisa menguasai dengan baik. Tetapi sekitar lima menit melaju, kaki kami mulai sedikit panas, mungkin kami telalu memaksa motor kesayangan ini untuk mengangkut kami yang tidak kurus ini dan harus melewati medan yang tidak gampang.

Beberapa pejuang medan seperti kami juga terlihat lengah, mereka pasti mempunya pikiran yang sama dengan kami, ingin melihat bagaimana menyalanya lava pada malam hari.

Lima menit kemudian, berarti kami telah mengarungi medan selama sepuluh menit. Hawa dingin mulai menyeruak masuk ke kulit kami. Kami semakin tinggi, dan juga kami telah melewati pengendara motor lain yang berhenti atau memaksa motor mereka alias tidak kuat karena curamnya medan. Kebanyakan dari mereka sama seperti kami, mengendarai motor dan berboncengan entah itu laki-laki perempuan, atau dua orang laki-laki. Kami memang bandel, hanya kami yang kapok alias bertiga. Setelah melihat mereka semua akhirnya bapak menurunkan kecepatan supaya motor kami tidak kewalahan.

Medan terberat di depan mata, jalan kali ini lebih curam dari yang lain, tidak ingin terlalu kejam bapak mengajak saya dan ibuk untuk merapat ke pinggiran dan mengistirahatkan motor kesayangan. Aku yang masih kecil hanya menganggukkan kepala dan duduk diamping ibuk tercinta. Mengingat medan yang dilalui, ternyata motor ini sangat keren, mampu membawa kami yang jaraknya tidak seberapa jauh lagi dari tujuan.
Agak lama kami menunggu, bapak mengisyaratkan kami supaya naik ke motor lagi. Saya naik dengan senang, pengalaman pertama saya ke tempat ini. Pasti menyenangkan.

Sampai disana dengan selamat dan sehat, tetapi terjadi beberapa hal yang tak terduga, di luar pikiran kami. Ternyata suhu disana terlalu dingin dan jaket kami tidak mampu menutupinya. Disana banyak juga pejuang seperti kami yang sudah membawa selimut tebal nan hangat. Kami agak menyesal hanya mengenakan jaket sekenanya di tengah hembusan angin malam. Dan setelah melihat dimana Gunung Merapi itu berada, ternyata hitam, hanya siluet gunung dari pantulan bulan berwarna hitam. Lava bukan mengarah kearah lami, tetapi kearah sebaliknya, dengan tangan kosong kami memutuskan pulang kembali.

Sekarang medan yang lebih bersahabat, turunan. Kami lalui dengan senang. Walaupun kami pulang tidak membawa apa-apa, tetapi perjalanan kali itu sungguh menyenangkan, dan kenangan baru. Bagaimana tidak, motor yang keren dengan body trail seperti itu bisa membawa kami membelah dinginnya cuaca pegunungan, canggih karena ketika kami masih berusaha menembus medan itu,kami bisa melewati beberapa pejuang. Dan cepat tentunya, siapa lagi yang bisa mengalahkan kecepatan motor ini?

Inilah cerita saya, sampai rumah sudah malam, saya harus vepat-cepat tidur, tidak baik anak kecil tidur terlalu malam. Dan esoknya saya tak lupa bercerita pengalaman yang fantatis ini ke seluruh teman-teman. Saya sangat bangga dengan motor kesayangan yang mengangkut manusia-manusia gendut tetapi masih bisa bertahan dan tidak sakit. Terimakasih motor bapak kesayangan.



                                            

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Back
to top